Thursday, March 02, 2006

Kecelakaan Peziarah Paroki Bintaran


Bus Peziarah Masuk Jurang

Lima orang meninggal dan puluhan luka ringan dan berat dalam peristiwa kevelakaan yang menimpa peziarah dari Paroki Bintaran.

Duka atas tragedi kecelakaan yang menimpa siswa SMK Yapenda di Situbondo yang merenggut 54 jiwa belum lagi berakhir. Hari Minggu tanggal 26 Oktober 2003, seluruh umat Paroki St. Yusup, Bintaran, Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang merasakan duka yang mendalam. Rombongan peziarah dari Paroki St. Yusup Bintaran mengalami kecelakaan di Ponorogo.

Kurang lebih pukul 16.30 WIB bus yang ditumpangi rombongan peziarah masuk jurang sekitar kurang lebih 4 kilometer dari tempat peziarahan Sendang Waluya Jatiningsih, Ponorogo. Tidak hanya umat Paroki Bintaran khususnya lingkungan Brayat Minulya mengalami duka yang mendalam tetapi juga seluruh umat KAS. Hal ini diungkapkan Romo Jarot, Pr, Kepala Paroki Bintaran dalam pembukaan Ekaristi pemberkatan jenazah hari Senin (27/10) di Gereja Bintaran.

Korban yang meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut 5 orang. Masing-masing, Yohanes Pulung Sujani (61 tahun), Maria Magdalena Sri Sugati (51), Catarina Heri Antini (51), Theresia Sumarsih Sukarman (58), dan Maria Yuliana Suhadiati (56 tahun). Korban luka-luka 21 orang termasuk sopir bus.

Jenazah korban meninggal dunia tiba di Yogyakarta (Rumah Sakit Panti Rapih) sekitar pukul 07.00, Senin (27/10), kemudian dirawat di rumah sakit tersebut. Sedangkan korban luka-luka dievakuasi dan dirawat di 3 rumah sakit: RSU Ponorogo, RS Aisyah Ponorogo dan RS Darmayu Ponorogo.
Kecelakaan ini terjadi diduga karena sopir kehilangan kendali atas kendaraan sebab medan yang dilalui cukup sulit dan penuh tikungan serta tanjakan yang curam.

Dalam kotbahnya, Pastor Yuventius Fusi N, selaku wakil dari Paroki Ponorogo mengucapkan belasungkawa sebesar-besarnya mewakili umat dan segenap pastor Paroki Ponorogo kepada umat Bintaran dan secara khusus kepada kekuarga korban. Tak lupa pula ia juga menghaturkan banyak terima kasih kepada rumah sakit yang membantu evakuasi korban kecelakaan, secara khusus pula kepada RS Aisyah yang telah merawat korban dengan amat baik. Warga setempat tanpa memikirkan soal agama bahu membahu memberi bantuan dalam evakuasi korban.

Pastor Yuventius menceritakan besarnya iman para korban yang tidak menjadi marah dan mengutuki Tuhan atas peristiwa tersebut. Para korban yang masih sadar dan mendapat luka yang tidak serius justru mengingatkan para imam untuk memberikan komuni dan perminyakan suci kepada korban yang menderita luka yang cukup serius. “Iman yang mendalam sangat jelas terungkap dalam peristiwa tersebut. Bagi kita teladan iman yang besar itu menjadi cermin yang nyata bagi kehidupan kita umat beriman, “ujarnya.

Ekaristi pemberkatan jenazah dipimpin Pastor Jaya Sewaya, Pr, Vikep DIY. Dalam konselebrasi tersebut ada 9 imam yang ikut dalam pemberkatan jenazah. Beberapa imam yang pernah bertugas di Paroki Bintaran hadir sebagai ungkapan belasungkawa yang mendalam. Pemberkatan ini juga dihadiri umat kurang lebih 2000 orang yang memadati seluruh areal gereja yang hanya dapat menampung 800 orang. Hal ini menampakkan duka yang mendalam yang dialami umat paroki ini.
Setelah ekaristi, pihak paroki menyerahkan janazah kepada pihak keluarga untuk disemayamkan di rumah duka dan selanjutnya akan dimakamkan di tempat peristirahatan terakhir sesuai kesepakatan pihak keluarga. (Hidup, 9 November 2003)

Lima Orang Tewas, 18 Lainnya Luka-luka

Lima penumpang bus rombongan peziarah Paroki Bintaran, Yogyakarta, tewas dalam kecelakaan di Ponorogo, Jawa Timur, Minggu (26/10). Bus yang berisi 26 peziarah itu terbalik di Dusun Biting, Desa Suru, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo, sekitar pukul 15.30.

Dalam kecelakaan itu tiga penumpang tewas seketika, sedangkan dua orang lainnya meninggal di rumah sakit. Tiga penumpang yang tewas di lokasi adalah Ny. Imam Santoso (45), Ny. Sukarman (52), dan Ny. Ninik (45). Dua penumpang lainnya, Ny. Sri Suyantini (40) dan Pulung Sujani (60), meninggal setelah tiba di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ponorogo.

Menurut keterangan yang diperoleh Kompas, sebanyak 18 penumpang lainnya yang menderita luka-luka kini dirawat di tiga rumah sakit, yakni RSUD Ponorogo, RS Darmayu dan RS Aisyah. Sebagian besar penumpang mengalami luka-luka di bagian kepala, di samping beberapa di antaranya patah kaki dan tangan.

Kejadian tragis itu menimpa mikrobus AB 9892 AA asal Yogyakarta yang dikemudikan Buang Harun Sucipto (61). Mikrobus tersebut terguling ketika melewati jalan menurun saat menuju arah Yogyakarta, setelah rombongan berziarah di Sendang Klepu, Sooko.

Rombongan yang berasak dari wilayah Taman Siswa, Mergangsan Kdul dan Nyutran, Yogyakarta, itu menggunakan dua bus, masing-masing berisi 25 dan 26 penumpang. Mereka adalah warga Lingkungan Brayat Minulya, Paroki Bintaran, Yogyakarta.

“Memang benar ada kecelakaan di Sooko. Sejauh ini kemi masih menyelidiki sebab-sebab kecelakaan. Malam ini bangkai bus saya perintahkan diderek”, ujar Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resort (Polres) Ponorogo, Ajun Komisaris Dolifar Manurung, Minggu malam.

Kirim tim

Paroki santo Yusuf, Bintaran, Minggu malam langsung mengirim tim yang dipimpin romo parokinya, Jarot Kusno Priono, Pr, untuk menjemput umatnya yang mengalami musibah kecelakaan di Pulung, Biting, Kabupaten Ponorogo.

Itu dilakukan setelah mereka mendapatkan informasi bahwa salah satu di antara dua bus yang ditumpangi umat Gereja Katolik (Paroki) Bintaran, Lingkungan Brayat Minulyo, masuk jurang. Lima penumpangnya tewas dan 18 lainnya luka-luka.

Joko, petugas Paroki Bintaran, semalam menjelaskan kepada Kompas, jenazah lima korban itu diperkirakan baru tiba di Yogyakarta Senin pagi ini. “Romo paroki sudah berangkat untuk menjemput korban, “ ujarnya.

Akan tetapi, dia tak bisa memastikan siapa saja yang tewas di antara anggota rombongan yang berziarah ke Ponorogo itu.

Para korban sampai tadi malam masih berada di RSUD Ponorogo. Menurut rencana, setibanya dari Ponorogo, jenazah kelima korban hari Senin ini akan disemayamkan di Gereja Santo Yusuf, Bintaran, sebelum dimakamkan. (Kompas 27/10/2003).

Lima Peziarah Asal Yogyakarta Tewas

Belum hilang ingatan kita akan Tragedi Paiton yang merengut 54 nyawa rombongan murid SMK Yapemda Sleman, 8 Oktober 2003 lalu, peristiwa serupa terjadi lagi. Kali ini, kecelakaan menimpa rombongan peziarah asal Yogyakarta saat kembali dari sumber suci Bunda Maria di Dusun Klepu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo, Minggu (26/10) sekitar pukul 15.30 WIB.

Satu dari dua minibus yang dicarter warga Jl. Taman Siswa, Lingkungan Mergangsan Kidul, Yogyakarta, masuk ke jurang di tanjakan Dusun Biting, Desa Suru, Kecamatan Sooko. Akibatnya, lima penumpang tewas, dua luka berat dan 21 lainnya luka ringan.

Korban tewas di tempat kejadian adalah Ny. Imam Santosa, 45, Ny. Sukarman 52 dan Ny. Ninik 45 sedangkan dua korban lainnya meninggal di rumah sakit, yakni Ny. Marwoto, 40 dan Pulung Sujani 60. Mereka semua warga Jl. Taman Siswa, Yogyakarta.

Para korban umumnya menderita luka di bagian kepala akibat terbentur jok kursi bus saat kendaraan berpenumpang 26 orang itu terguling. Para korban yang terluka di rawat di RS Darmayu dan RS Aisyah Ponorogo, sedangkan jenazah korban tewas dibawa ke RSUD Ponorogo.

Para penumpang yang tewas rata-rata duduk di sisi kiri bus. Posisi akhir bus miring kekiri, pintu berada di bawah.

Lani, 42, penumpang bus yang selamat, menuturkan bus yang dikemudikan Buang Harun Sucipto, 61, warga Jl. Taman Siswa itu berjalan tidak terlalu kencang karena kondisi jalan memang menurun. Namun, ketika bus bernopol AB 9892 AA akan melewati tikungan, tiba-tiba kendaraan oleng ke kiri, terguling dan nyungsep ke jurang sedalam sekitar 5 meter.

“Bus sebenarnya berjalan pelan, tetapi tiba-tiba oleng tak terkendali. Saya berusaha berpegangan kua-kuat pada jok bus”, ujar Lani yang duduk di jok paling belakang.

Menurut Lani, rombongan berangkat dari Yogyakarta, Minggu (26/10) sekitar pukul 06.00 WIB. Mereka mencarter dua bus, bus pertama berisi 26 orang dan bus yang satu lagi membawa 25 penumpang. Rata-rata penumpang berusia lanjut.

Bus yang mengalami kecelakaan adalah bus yang berpenumpang 26 orang. Begitu melihat bus di depan mengalami kecelakaan, para penumpang bus di belakangnya, dibantu penduduk setempat, berusaha menolong para korban.

Evakuasi korban dilakukan melalui jendela dan bagian depan bus yang kacanya telah hancur. Proses evakuasi selesai sekitar pukul 19.00 WIB. Bangkai bus hingga berita ini diturunkan masih berada di jurang.

Dikonfirmasi wartawan mengenai hal ini, Kasat Lantas Polres Ponorogo, AKP Dolifar Manurung menyatakan keprihatinannya, apalagi yang mendapat musibah berasal rombongan dari Yogyakarta.
“Kami menyelidiki penyebab kecelakaan. Malam ini bangkai bus saya perintahkan untuk diderek dari lokasi”, ucap Dolifar Manurung, Minggu (26/10) malam.

Ditanya kapan jenazah akan dibawa ke Yogyakarta, Dolifar mengatakan, pihaknya belum dapat memastikan karena perlu koordinasi dengan RSUD Ponorogo yang merawat jenazah korban tewas. (Surya, 27/10/2003)

Bus Terguling, Lima Tewas

Yogyakarta kembali berduka. Bus yang ditumpangi rombongan Gereja Katolik Bintaran Yogyakarta terguling ke Jurang Biting, Suru, Sooko, Ponorogo, kemarin sekitar pukul 16.00. Korban tewas sebanyak lima orang, sedang belasan penumpang lain mengalami luka-luka.

Dua orang yang tewas di RS Darmayu itu, yakni Pulung Sujani, 60 dan Nn. Ninik, 45. Sedang yang tewas di TKP adalah Ny. Imam Santosa, 45, Ny. Sukarman, 52, Ny. Sri Suyantini, 40. Dua korban lain kondisinya kritis di RS Darmayu, masing-masing korban tewas semalam sudah diberangkatkan ke rumah duka di Yogyakarta.

Informasi yang berhasil dihimpun dari satu dari dua bus pariwisata Semeru yang ditumpangi rombongan berjumlah 50 orang itu terguling ke kiri ketika meniti tikungan di jalanan menurun, persis di bibi Jurang Biting. Para rombongan ini sebenarnya hendak pulang setelah mengunjungi Sendang Maria di Klepu, Sooko.

Dua bus yang dinaiki rombongan GKB itu berjalan beriringan. Bus Semeru Nopol AB 9892 AA yang berada di depan akhirnya menemui nahas. Sisi kiri roda bus diperkirakan melindas pinggir jalan yang terkena erosi.

Tak pelak, bodi kendaraan besar itu langsung miring ke kiri terus tergelincir ke jurang sedalam lima meter. Teriakan dan jeritan sempat terdengar dari mukut penumpang. Histeria ini didengar rombongan penumpang yang naik di bus belakangnya. “Kejadiannya sedemikian cepat”, kata Yos Supriyadi, 60, rombongan di bus yang selamat, kemarin.

Dua penumpang tewas di tempat kejadian, tiga korban yang lain menyusul menemui ajal setelah dilarikan ke RSU Darmayu dan RSU Aisyiyah, RSUD Dr. Sutomo. Menurut Yos, rombongannya berangkat dari Yogyakarta, Minggu pagi sekitar pukul 05.45. Setelah mengunjungi Gua Maria, mereka memutuskan pulang sore hari kemarin. Namun, musibah tak dapat dielakkan.

Sejauh ini, sangat sulit mencari nama dan data korban yang tewas. Baik dari rombongan GKB ataupun pihak kepolisian. Proses evakuasi mayat korban kemarin cukup merepotkan. Petugas Satlantas Polres Ponorogo dibantu warga yang tinggal di sekitar lokasi kecelakaan harus bahu-membahu memberikan pertolongan. Korban luka segera dilarikan ke rumah sakit. Bersamaan dengan itu, jemaat Katolik dari sejumlah Gereja di Ponorogo tampak memberikan simpati.

Suasana duka sangat terasa di dua rumah sakit tempat perawatan para korban. Anggota rombongan yang selamat silih berganti mengirim kabar via telepon ke rumah.

Empat peti mati malam kemarin juga sudah dipersiapkan untuk menyimpan mayat korban kembali ke Yogya. Musibah di Suru ini seakan mengingatkan tragedi kecelakaan di Paiton yang menewaskan 54 siswa, guru dan pemandu wisata dari SMK Yapemda 1 Sleman Yogyakarta beberapa pekan berselang.

Kapolres AKBP Ma’ shum melalui Kasatlantas AKP Dolifar Manurung membenarkan peristiwa kecelakaan tersebut. (Jawa Pos, 27/10/2003)

Kapolwil: Bus Tak Layak Jalan


Penyebab kecelakaan bus di Ponorogo yang merenggut lima korban rombongan dari Gereja Katolik Bintaran (GKB) Yogyakarta mulai terkuak.
Tim gabungan Polwil Madiun dan Polres Ponorogo menyimpulkan bahwa kondisi minibus mili PO Semeru Yogyakarta itu tidak layak jalan. Hal itu diungkapkan Kapolwil Madiun Kombes Edy Kusuma W, Senin (27/10). Orang nomor satu di jajaran Polwil Madiun itu mengatakan minibus yang kecelakaan tidak sesuai dengan keterangan dalam STNK dan surat uji kir.
Pada STNK dan uji kir tercatat bahwa bus bermesin Mazda. Namun kenyataannya bus bermesin Hyundai dengan keterangan Colt Diesel.
“Ini berarti bus itu tidak layak jalan. Namun kenyataannya, bus itu digunakan membawa rombongan dari Yogyakarta ke Ponorogo, “ ungkap Edy Kusuma kepada wartawan, Senin (27/10).
Dengan temuan itu, lanjut Edy, kesalahan dapat ditimpakan kepada sopir (Buang Harun Sucipto) dan pemilik bus. Buang kini sedang dirawat di Rumah Sakit Darmayu Ponorogo, sedangkan pengusaha bus masih berada di Yogyakarta.
“Baik sopir, maupun pemilik bus akan kami periksa. Mengapa bus yang tidak layak jalan masih dipakai dan disewakan, “ papar Edy.
Selain bus tidak layak jalan, kata Edy, bus mengalami kecelakaan karena rem blong. Saat meniti jalan yang menurun dan menukik tajam di kawasan hutan KPH Pulung, Ponorogo, sopir berusaha menganti gigi tiga ke gigi satu, namun gagal.
Selain itu, seperempat jalan di tempat kejadian dalam keadaan longsor. “Sebenarnya jalan ini sering dilewati wisatawan yang hendak ke sumber suci Bunda Maria. Tetapi, mengapa adanya tanah longsor hanya ditandai dengan patok bambu”, tanya Edy.
Saat Surya berada di lokasi kecelakaan kemarin siang, bus bernopol AB 9892 AA yang masuk jurang berkedalaman sekitar 5 meter telah berhasil diderek. Menderek minibus warna hijau tua itu, tim Derlaka (Derek Kecelakaan Lalu Lintas) Polres Madiun menemui kesulitan. Setelah berjerih payah sejak pukul 08.00 WIB, mereka baru berhasil mengangkat bus pada pukul 10.00 WIB.
Ratusan warga di sekitar kejadian berbondong-bondong menyaksikan lokasi musibah, 25 kilometer dari pusat kota. Lima jenazah korban sudah dibawa ke Yogyakarta dengan menggunakan ambulance milik RS Panti Rapih Yogyakarta, Senin (27/10) pukul 04.00 WIB dari RSUD Ponorogo.
Kelima korban adalah Ny. Imam Santosa, 45, Ny. Ninik, 35, Pulung Sujani, 60, Ny. Sukarman, 50 dan Ny. Sukayantini (bukan Ny. Marwoto, seperti diberitakan kemarin).
Data di RSUD, RS Aisyah dan RS Darmayu menyebutkan, selain lima korban tewas, tujuh korban lainnya luka berat dan sisanya luka ringan. Yang luka ringan sudah diperbolehkan pulang ke Yogyakarta, sedangkan tujuh korban luka berat masih dirawat di RS Ponorogo. Korban luka berat dirawat di RSUD (1), RS Aisyah (1) dan RS Darmayu (5).
“Saya masih menunggui calon suami yang terpaksa menjalani operasi. Saya sebenarnya bukan anggota GKB. Saya diajak calon mertua untuk ziarah ke Bunda Maria, Ponorogo, “ tutur Lani, kepada Surya di RS Darmayu. Lani mengaku bersyukur karena terhindar dari maut. (Surya 28/10/2003)

Sebenarnya Saya Siap Dipanggil, Saat Kecelakaan Itu


Inilah pengalaman batin peziarah Paroki St. Yusuf, Bintaran yang selamat dari kecelakaan di desa Suru, Ponorogo, 26 Oktober 2003
“Dalam doa, saya mendapatkan kedamaian, ketenangan dan kepasrahan. Doa dan pertobatan itulah yang saya yakini telah menyelamatkan nyawa saya dalam musibah itu. Seandainya belum bertobat, saya tidak tahu apa jadinya, “ kata Patricia Sumirah Pulung (52), yang tubuhnya masih berbaring lemah di salah satu bangsal RS Panti Rapih Yogyakarta.
“Sebelum tahun 1999 saya merupakan ‘Katolik KTP’ saja. Saya datang setiap minggu ke gereja, namun dalam kegiatan apapun tak pernah terlibat. Waktu saya habis untuk bekerja dan bekerja bagi anak-anak. Saya menyadari, tanpa bekerja keras, tak mungkin saya dan suami, Yohanes Pulung Sujani, mampu membiayai kuliah kedua anak kami. Dalam kekuatan doa dan keiklasan, saya bisa menerima musibah ini, termasuk harus kehilangan suami saya, Pulung Sujani”, aku nenek dari dua cucu ini lirih.
“Banyak orang mengatakan saya termasuk orang tabah. Bagi saya, itu semua bukan karena ketabahan, namun karena kepasrahan dan keikhlasanlah yang membuat diri saya bisa kuat. Saya berusaha tidak menangis, walau harus kehilangan suami. Saya berusaha menahan sakit saat kecelakaan, walaupun sebagian tubuh saya masih ada dalam bus, sementara kepala, tangan dan tubuh saya yang lain keluar dari bus dan masuk dalam tanah. Semua itu saya rasakan dalam diam dan terus berdoa sambil menanti giliran untuk ditolong.”
“Semenjak hidup bertobat dan berpasrah pada Tuhan, saya pantang untuk merintih-rintih, menangis atau apapun. Dalam godaan apapun, saya cenderung untuk diam dan berdoa, termasuk saat kecelakaan itu menimpa saya, “ ceritanya.
“Memang, selama perjalanan pulang sampai proses kecelakaan itu berlangsung, saya sadar sesadar-sadarnya. Saya sadar, kalau saya duduk di depan di dekat sopir. Di sebelah saya, bu Imam Santosa (Maria Magdalena Sri Sugati) yang menjadi korban kecelakaan dan meninggal, serta Pak Imam Santosa. Saat kecelakaan, bus itu hanya berjalan pelan karena menurun”.
“Karena kaget ada pot di pinggir jalan, bus banting setir ke kiri, namun akhirnya masuk ke jurang yang dalamnya hanya dua meter dan kemudian terguling”.
“Saya langsung berada di balik kursi sopir saat bus itu terperosok dan miring. Saya merasakan, ini kecelakaan kecil saja. Namun ternyata akibatnya fatal, “ kisahnya.
“Di mata saya, itu kecelakaan ringan. Saya sama sekali tak menduga kalau sampai menelan korban sebanyak lima orang peziarah. Saya tak merasakan kalau ternyata kaku dan tangan saya retak dan hampir patah, tujuh tulang rusuk patah serta tulang ekor retak.”
“Waktu itu, selama menunggu datangnya pertolongan, saya berterima kasih pada Tuhan telah menyelamatkan nyawa saya, juga mendoakan teman-teman agar selamat dari musibah ini. Sama sekali saya tak menduga kalau sampai menelan korban. Kecelakaannya sungguh ringan kok di mata saya, “ paparnya lagi.
Menangkal gosip
“Saya protes! Saya tidak terima bahwa kata orang-orang pintar tempat kecelakaan itu memang angker. Nyawa-nyawa yang melayang dikatakan sebagai tumbal dan kini masih ada tiga nyawa yang masih ditahan oleh sang penunggu yang berujud para warok,” dengan suara agak keras ia menyangkal berita-berita tidak benar yang beredar sehubungan dengan peristiwa itu.
“Memang ada berita seperti itu. Namun saya tak percaya, saya yakin suami saya langsung masuk ke surga. Dia orang yang sangat baik luar dan dalam. Memang kepergian suami saya sangat tidak saya duga. Mungkin anda bisa bertanya pada teman-teman yang berziarah, bahwa saat kecelakaan, Bapak malah ikut membantu mengeluarkan para korban dari bus, meski darahnya bercucuran di wajahnya. Saya melihat itu semua, karena saya masih sadar saat terjepit tubuh bus dengan tanah sambil menanti giliran untuk ditolong, “ katanya penuh keyakinan.
“Saya didatangi arwah bapak untuk minta pamit. Anak angkat kami, Untung yang tinggal di Jakarta serta karyawan tempat Bapak bekerja dulu juga diberitahu Bapak melalui telepon karena kebaikannya. Kepada mereka, almarhum Bapak memberi kabar agar disampaikan ke rumah untuk mengirimkan ambulans karena ia mengalami kecelakaan di Ponorogo. Kepada anak angkatnya, dia menelepon agar pulang sebab ibunya opname di rumah sakit. Padahal, saat telepon itu berdering, Bapak sudah meninggal dan siap dikuburkan di hari Senin sorenya”.
“Bapak menemui saya karena kebaikannya untuk minta pamit serta bentuk keikhlasannya untuk menghadap Tuhan. Persisnya dia datang usai didoakan dalam Misa di gereja pukul satu siang. Saat bapak datang, dia mengenakan baju putih serta berdasi dan berkaca mata, wajahnya tampak berseri-seri dan tersenyum. Saya pun bilang: “Pak silahkan kalau mau ikut Tuhan ! Cepatlah berangkat, saya sudah ikhlas. Silahkan ikut Bunda Maria, selamat jalan, pak!” Begitu saya mengucapkan itu, kemudian bayangan itu hilang. Dia pamit pada saya akan menghadap Tuhan di surga, “ ujarnya.
“Saya yakin, kecelakaan itu bukan hukuman atau peringatan. Selama ini saya sudah berbuat baik pada Tuhan dan sesama, meski bukan berarti saya tidak berdosa”
“Di mata saya, kecelakaan itu murni sebagai misteri Tuhan. Karena itulah, saya tidak pernah kapok untuk melakukan ziarah lagi, sekalipun kembali ke Sendang Waluya Jatiningsih Ponorogo yang telah mencelakai saya. Saya akan tetap melakukan kegiatan seperti semula. Saya sungguh ingin pergi berziarah lagi”.
“Kecelakaan itu adalah misteri Tuhan semata. Setelah saya renungkan, sebagai misteri Tuhan, saya diharapkan oleh Tuhan untuk lebih bertekun lagi dalam doa, melayani sesama dengan lebih baik lagi. Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk berbuat baik. Buktinya, saya tak meninggal dalam kecelakaan itu. Saya diselamatkan, karena saya masih diberi kesempatan untuk berkarya dalam nama Tuhan. Ini tantangan bagi saya dan akan saya jalankan”, jelas perempuan yang ketika diwawancarai ditemani anak angkatnya.
“Benar, dalam sikap pasrah dan ikhlas, dari kecelakaan ini, saya tak merasa kehilangan apa-apa. Namun saya hanya merasa kehilangan waktu, karena biasanya saya aktif untuk ikut banyak kesempatan, “ katanya datar.
“Kini saya mesti berjuang sendiri, tetapi saya tak akan pernah mengubah janji saya untuk hidup berserah pada Tuhan dengan terlibat sepenuh-penuhnya bagi kegiatan sosial dan Gereja. Justru dengan kepergian suami saya, saya merasakan waktu untuk mengabdi Tuhan semakin terbuka dan lebar”.
“Saya bersyukur masih diberi waktu untuk berbalas budai pada Tuhan. Saya ingat benar saat-saat saya memohon-mohon pada Tuhan agar nyawa saya tidak cepat-cepat dipanggil menghadap. Waktu itu, tepatnya di tahun 1980, saat anak-anak masih kecil, sementara saya harus menjalani operasi besar tumor ganas kandungan. Syukur, doa saya akhirnya dikabulkan, meski harus menjalani operasi tumor kandungan sebanyak empat kali”.
“Waktu itu saya benar-benar mohon pada Tuhan untuk tetap diberi hidup. Saya sangat kasihan pada kedua anak saya, kelak akan apa jadinya kalau saya meninggal. Kini setelah tugas saya selesai sebagai ibu dengan kedua anak saya sudah menikah dan dapat pekerjaan, saya sewaktu-waktu sudah siap dipanggil Tuhan. Termasuk dalam kecelakaan itu, saya sebenarnya siap dipanggil Tuhan. Namun ternyata Tuhan punya rencana sendiri terhadap saya. Namun yang penting, kapanpun nyawa ini dijemput, saya sudah siap”, dengan mantap Patricia berkata.
Barangkali Patricia Sumirah Pulung sudah punya “firasat” bahwa waktunya sudah dekat. Sabtu (8/11), ia menghembuskan nafas terakhirnya. Seperti dituturkan kepada Susana K. Yulianti. (Hidup, 30 November 2003)